Selasa, 16 Desember 2014

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU TANAH (TANAH GAMBUT)



                                                                                                                                                I.           

 
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar.Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule.
Gambut adalah bahan organis setengah lapuk berserat atau suatu tanah yang mengadung bahan organic berserat dalam jumlah besar. Gambut mempunyai angka pori yang sangat tinggi dan sangat komperesibel (Dunn dkk., 1992).
Lapisan tanah gambut adalah tipe lapisan tanah lempung atau lanau yang bercampur dengan serat-serat flora dari tumbuhan tebal di atasnya. Pada kondisi tanah dengan serat yang melapuk atau fauna yang membusuk maka tanah tersebut menjadi tipe lapisan tanah organik (Nasution, 2004).
Menurut Terzaghi dan Peck (1967) gambut adalah agregat agak berserat yang berasal dari serpihan mokroskopik dan mikroskopik tumbuh-tumbuhan.
Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (2008) Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara Negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang mana di Sumatera sendiri luasnya mencapai 2.253.733 ha. Seiring dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk mengakibatkan lahan-lahan pertanian semakin terdesak untuk penggunaan non pertanian maka lahan-lahan marginal seperti gambut harus dimanfaatkan sebagai areal pertanian.
Perluasaan pemanfataan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relative lebih lambat (WWF,2008).
Dalam pemanfaatannya sebagai areal pertanian lahan gambut memiliki banyak masalah yang dihadapi diantaranya : Kejenuhan basa yang rendah, kemasaman tanah yang cukup tinggi, dan C/N yang tinggi serta sifat fisik yang kurang baik dalam menyokong pertubumbuhan tanaman.
Pengembangan pertanian pada lahan gambut harus mempertimbangkan sifat tanah gambut. Menurut Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organic yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam Organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga menggangu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.
Beberapa sifat kimia tanah gambut yang lain berpengaruh terhadap dinamika hara dan penyediaan hara bagi tanaman yaitu: kemasaman tanah, kapasitas tukar kation dan basa-basa dapat ditukar, fosfor, unsur mikro, komposisi kimia dan asam fenolat gambut. Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian memerlukan perencanaan yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat karena ekosistemnya yang marginal dan fragile. Pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara lain tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dikurangi denga teknologi pengelolaan air dan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Pemberian unsur hara untuk memberikan hasil yang optimal pada system usaha tani dapat dilakukan dengan tindakan ameliorasi dan pemupukan (Ratmini, 2012).
Lahan gambut memiliki beberapa fungsi strategis, seperti fungsi hidrologis, sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiveristas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa (Bellamy,1995 dan Ratmini, 2012). Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat, lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Pembukaan lahan gambut merubah ekosistemnya dan menguras simpanan karbon serta menghilangkan kemampuannya menyimpan air. Dengan pengorbanan yang besar dari sisi kualitas lingkungan, penggunaan lahan gambut untuk pertanian memberikan keuntungan ekonomi yang relative lebih kecil dibandingkan dengan lahan mineral (Agus dan Made, 2008).
B. Tujuan
Tujuan praktikum dasar-dasar ilmu tanah adalah :
1.    Untuk mengetahui pH pada tanah gambut
2.    Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan Al dd dan H dd pada tanah gambut.
3.    Untuk mengetahui persentase C organik pada tanah gambut.
4.    Untuk mengetahui persentase kadar air dalam tanah gambut.
5.    Untuk mengetahui persentase kandungan nitrogen (N) dalam tanah gambut.
6.    Untuk mengetahui kandungan fosfor (P2O5)pada tanah gambut.


 
 


                                                                                                                                   II.            TINJAUAN PUSTAKA

A.Tanah Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang mengakibatkan rendahnya tingkta perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 2007).
Berdasarkan kondisi lingkungan akumulasinya, gambut terbagi atas: (1) gambut topogenous adalah gambut yang dibentuk pada depresi topografi dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang hidupnya mengambil nutrisi tanah mineral dan air tanah (gambut ini disebut sebagai gambut eutropik atau gambut kaya bahan nutrisi). (2) gambut ombrogenous adalah gambut yang terbentuk karena pengaruh curah hujan yang airnya tergenang atau gambut yang dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentukan semasa hidupnya banyak tumbuh dari air hujan (gambut ini disebut sebagai gambut oligotrophic atau gambut miskin bahan nutrisi).
 Berdasarkan tingkat kematangan atau pelapukan, gambut dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu: 1) fibrik adalah gambut yang tingkat pelapukannya terendah, 2/3 volumenya terisi serat, 2) hemik adalah gambut yang tingkat kematangannya sedang, kandungan seratnya 1/3 – 2/3 volumenya, 3) gambut saprik adalah gambut yang masih kasar mempunyai porositas tinggi, sukar menahan air dan unsur hara serta dapat mengalami penyusutan (subsidence) yang kasar (Setiadi, 1996).
Noor (2001) membagi gambut dalam empat kategori berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, yaitu gambut dangkal (50-100 cm), gambut tengahan (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm), dan gambut sangat dalam (>300 cm). Widjaya-Adhi (1988), menyebutkan kedalaman gambut dan tanah mineral yang ada dibawahnya sangat menentukan komposisi kimia tanah-tanah gambut. Tingkat kesuburan lapisan atas dari gambut adalah lebih miskin unsur hara essensial daripada lapisan atas dari gambut dangkal.
Noor (2001) menyatakan bahawa sifat dan cirri fisika tanah yang utama dari lahan gambut, antara lain ketebalan gambut, lapisan dibawahnya, penurunan muka tanah, kelengasan tanah, kerapatan lindak, daya antar hidrolik, dn kering tak balik. Setiadi (1996) menjelaskan bahwa tanah gambut mempunyai bulk density yang sangatrendah yaitu sekitar 0,1 – 0,2 g/cc, sehingga mengakibatkan rendahnya kandungan unsur hara per satuan volume tanah. Sifat kering tak balik (irreversible drying) menunjukkan bahwa bila gambut tidak mampu menyerap air kembali. Selain itu gambut juga mempunyai sifat yang terus menerus menyusut (subsidence) bila perbaikan drainase dilakukan.
Kendala dari segi sifat kimia tanah gambut yang sering dijumpai adalah: (1) reaksi tanah tergolong sangat masam yang berasal dari berbagai asam organic yang terbentuk selama pelapukan , (2) kandungan hara makro dan mikro rendah, (3) kapasitas tukar kation yang tinggi, sedangkan kejenuhan basa rendah sehingga kation-kation Ca, Mg, dan K sukar tersedia bagi tanaman (Halim dan Soepardi, 1987), (4) kandungan asam-asam organic tanah tinggi yang berpengaruh langsung dan dapat meracuni tanaman, terutama asam fenolat, (5) tata air yang buruk. Sumber gambut adalah asam-asam organik (Noor, 2001).
Keasaman pada tanah gambut berhubungan dengan konsentrasi ion H+ dan asam-asam organik (Prasetyo, 1996). Menurut Setiadi (1996), nilai pH tanah gambut ideal adalah sekitar 5,5; pH lebih tinggi menurunkan ketersediaan P, Mn, Bo, dan Zn, sedangkan tanah-tanah yang sangat masam menyebabkan kekhahatan N, P, Ca, Bo, Cu dan Mo.
Menurut Tan (1993) dan Stevenson (1994), gambut banyak mengandung senyawa organik yang mampu membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation logam. Gugus fungsi yang mengandung oksigen seperti C=O, -OH, serta –COOH merupakan tapak reaktif dalam pengikatan ion. Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber ebergi. Volume gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 triliun m, yang menutupi wilayah sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung potensi energy kira-kira 8 milyar terajoule (Wikipedia.org, 2009).
Sifat Fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mongering tidak balik (irreversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya (13 kali bobotnya) menyebabkan BD menjadi rendah. Bulk density terkait dengan kematangan dan kandungan bahan mineral, dimana semakin matang dan semakin tinggi kandungan bahan mineral makan BD akan semakin besar dan tanah gambut semakin stabil (tidak mudah mengalami kerusakan). Reklamasi lahan gambut dengan mengkerutnya volume tanha sehingga permukaan tanah akan mengalami penurunan (subsiden). Subsiden juga disebabkan karena terjadinya proses dekomposisi bahan organic dan melepaskan CO2 (Ratmini, 2012).
Kemampuan tanah gambut menampung air dalam jumlah besar dikarenakan bahwa jenis tanah ini memiliki serat yang membagi ruang pori menjadi makropori dan mikropori yaitu bagian terkecil yang terdapat di antara pori gambut itu sendiri, jadi dengan kata lain gambut memiliki dua kali kemampuan untuk menampung air, tanah mineral kering dapat menahan air 1/5 -1/2 dari bobotnya sedangkan tanah gambut dapat menahan 2-4 kali bobot keringnya (Adhi dan Suhardjo, 1976 dalam Nurdin, 2011).
Penetapan bobot isi (bulk density/BD) tanah gambut dapat dilakukab secara langsung dilapangan dengan menggunakan metode bentuk bongkahan atau clod, tetapi metode ini menghasilkan angka BD yang lebih besar karena kandungan air di dalam bongkahan gambut masih tinggi. Sementara itu, pengukuran bobot isi tanah gambut, lebih banyak dilakukan di laboratorium dengan menggunakan ring core, untuk menghilangkan kandungan air dalam contoh, maka tanah gambut dikeringkan dalam oven (suhu 105̊ C selama 12 jam) dan diberi tekanan 33-1500 kPa, sehingga tanah menjadi kompak dan stabil (Wahyunto et,al.,2004).
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyagga bebab (hearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini meyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. Kadang-kadang pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena menudahkan bagi petani untuk memanen sawit (Agus dan Made, 2008).
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mongering tidak balik, yaitu apabila gambut mongering dengan kadar air <100% (berdasarkan berat kering), tidak bisa menyerap air lagi jika dibasahi atau bersifat hidrofobik. Gambut yang mongering ini sifatnya sama dengan kayu kering dan kehilangan fungsinya sebagai tanah. Gambut kering juga mudah hanyut dalam dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988 dalam Agus dan Made, 2008). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat dibawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali (Agus dan Made, 2008).
Tanah gambut terbentuk dari timbunan bahan organik, sehingga kandungan karbon pada tanah sangat besar. Fraksi organik tanah gambut di Indonesia lebih dari 95% kuranf dari 5% sisanya adalah fraksi anorganik. Fraksi organic terdiri atas senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%, sebagian besar terdiri atas senyawa-senyawa non-humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, suberin, dan sejumlah kecil protein. Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat, dan humin (Stevenson, 1994; Tan, 1993 dalam Hartatik et al., 2004).
Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam dan ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral pada substratum (didasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Polak (1975) dalam Hartatik et al., (2004) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan protein umumnya tidak melebihi 11%.
Tanah gambut mempuunyai tingkat kemasaman yang relative tinggi dengan kisaran pH 3-4. Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organik, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990 dalam Hartatik et al., 2004).
Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif karboksil dan fenol yang bersifat sebagai asam lemah. Diperkirakan 85-95% sumber kemasaman tanah gambut disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut. Kemasaman tanah gambut cenderung menurun seiring dengan kedalaman gambut. Pada lapisan atas pada tanah gambut dangkal cenderung mempunyai pH lebih tinggi dari gambut tebal (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976 dalam Hartatik et al., 2004). Pengapuran tanah gambut dengan tujuan meningkatkan pH tidak terlalu efektif, karena kadar Al gambut yang rendah. Umumnya pH gambut pantai lebih tinggi dan tanahnya lebih subur dibandingkan dengan gambut pedalaman karena adanya pengayaan basa-basa dari air pasang surut (Hartatik et al., 2004).
Tanah gambut di Indonesia umunya terbentuk dari kayu-kayuan yang mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingakan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah beriklim sedang. Dekomposisi tanah gambut kayu-kayuan kata lignin dalam keadaan anaerob selain menghasilan asam-asam alifatik juga menghasilkan asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi tanaman. Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam syringat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984 dalam Hartatik et al., 2004).
Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh menghambat perkembangan akar tanaman dan penyediaan hara di dalam tanah. Hartley dan Whitehead (1984) dalam Hartatik et al., (2004), mengemukakan bahwa asam-asam fenolat pada konsentrasi 250 µM menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor oleh tanaman gandum, serta asam ferulat pada konsentrasi 500-1.000µM menurunkan serapan fosfor pada tanaman kedelai. Konsentrasi asama fenolat sebesar 0,6-3,0 µM dapat menghambat pertumbuhan akar padi sampai 50% sedangkan pada konsentrasi 0,001 hingga 0,1 µM dapat menggangu pertumbuhan beberapa tanaman (Takijima, 1960 dalam Hartatik et al., 2004).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungkan semakin rendah dan reaksi menjadi semakin masam. Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974 dalam Hartatik et al., 2004). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi menyebabkan ketersediaan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukkannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978 dalam Hartatik et al., 2004). Kejenuhan basa (KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah.
Muatan negative (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charger), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negative uang terbentuk adalah hasil disosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karena itu penetapan KTK menggunakan pengekstrak ammonium asetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah KTK tinggi yang menunjukkan kapasitas serapan gambut tinggi, namun kekuatan serapan lemah, sehingga kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi mudah tercuci (Agus dan Made, 2008).
Secara alamiah tanah gambut memiliki tingkat kesuburan rendah, karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organic yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah, yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organic ini akan menentukan sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun, dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa kompleks/khelat. Oleh karena itu bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan ameliorant gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih, 1996 dalam Agus dan Made, 2008).
Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara makro maupun mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh lingkungan pembentukkanya. Gambut yang terbentuk dekat pantai pada umumnya gambut topogen yang lebih subur, dibandingkan gambut pedalaman yang umumnya tergolong ombrogen. Tingkat kesuburan tanah gambut tergantung pada beberapa factor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi; (b) komposisi tanaman penyusun gambut; dan (c) tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut (Andreisse, 1974 dalam Hartatik et al., 2004). Polak (1949) dalam Hartatik et al., (2004) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abunya, yaitu: (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi ; (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang; (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah.
Tanah gambut juga mengandung unsure mikro yang snagat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi kebentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Unsur mikro juga diikat kuat oleh ligan organik membentuk khelat sehingga mengakibatkan unsure mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Gejala defesiensi unsure mikro sering tampak jelas pada gambut ombrogen seperti tanaman padi dan kacang tanah yang steril. Menurut Dreissen (1978) dalam Hartatik et al., (2004) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut. Tanah gamnut menyerap Cu cukup kuat, sehingga hara Cu tidak tersedia bagi tanaman, menyebabkan gejala gabah hampa pada tanaman padi. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro.
Ketersediaan N bagi tanaman pada tanah gambut umumnya rendah, walaupun analisis N total umumnya relatife lebih tinggi karena berasal dari N-Organik. Perbandingan kandungan C dan Ntanah gambut relative tinggi, umumnya berkisar antara 20-45 dan meningkat dengan semakin meningkatnya kedalaman (Radjagukguk, 1997 dalam Hartatik et al., 2004). Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan N tanaman yang optimum diperlukan pemupukan mikro.
Unsur fosfor (P)pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P-Organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P-anorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida dan gula fosfat. Ketiga senyawa pertama bersifat dominan. Fraksi P-organik diperkirakan mengandung 2,0% P sebagai asam nukleat, 1,0% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat dan sisanya belum terindentifikasi.
 Di dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya didalam tanah menempati lebih dari setengah P-Organik atau kira-kira seperempat total P tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat beraksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini sukar didegradsi oleh mikroorganisme (Stevenson, 1984 dalam Hartatik et al., 2004).


 
 


                                                                                                                              III.            BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Jalan Kaharuddin NasutionKM 11  No. 113 Marpoyan Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru. Praktikum ini dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan, mulai hari Kamis 02Oktoberdan Jum’at, 03Oktober 2014 (lampiran I).
B.Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam praktikum ini adalah Aqudes, larutan 1 N KCL, NaOH 0,1 N,HCL 0,1 N.dst.
Alat yang digunakan adalah pipet tetes, pipet ukur, timbangan analitik,dst.

C. Pelaksanaan Praktikum
Pembuatan Reagen dan Prosedur Kerja
1.      Penetapan pH tanah
( Tanah gambut dari Labersa )
a. Alat-alat
·         pH meter
·         Gelas Piala 250 ml
·         Mesin Kocok
·         Timbangan
b. Bahan-bahan
·         Air suling (Aquades) 50 ml-100 ml
·         Tanah 50 gram
c. Prosedur Kerja
·         Masukkan 50 gram tanah ke dalam gelas piala dan tambahkan 50 ml Air suling ( pH H2O 1:1 )
·         Kocok selama 15 menit dengan mesin pengocok, kemudian diamkan sebentar atau paling lama 1 jam.
·         Ukur dengan pH meter

2. ANALISIS Al dd dan H dd
Penetapan Al dan H dapat ditukarkan (Al dd dan H dd)
a.      Pembuatan Reagen
·         Laruatan 1 N KCL (74,5 gram KCL dalam 1 L aquades)
·         NaOH 0,1 N
·         HCL 0,1 N
·         NaF 4% ( 4 gram NaF larutan kedalam 100 mL aquades)

b. Alat-alat
·         Erlenmeyer 250 ml                 
·         Mesin kocok
·         Kertas saring
·         Pipet ukur
·         Pipet tetes
·         Alat untuk menggerus
c. Bahan-bahan
·         KCl
·         HCl
·         NaOH
·         NaF 4%
d. Prosedur Kerja
·         Gerus/ dihaluskan tanah jika masih kasar
·         Masukkan 10 gram tanah kedalam erlemeyer 250 ml
·         Tambah 100 ml 1 N KCL, tutup erlemeyer dan kocok selama 15 menit
·         Saring dengan kertas saring whatman 42 ( jika larutan tersebut keruh tetapi jika tidak maka larutan tersebut cukup diendapkan)
·         Pipet hasil diendapan 25 ml masukkan kedalam erlemeyer
·         Tambah 5 tetes indikator pp sambil dikocok.
·         Titer dengan 0,1 N NaOH sampai timbul merah muda, catat jumlah NaOH yang terpakai
·         Tambahkan 0,1 ml HCL 0,1 N sehingga warna merah muda hilang
·         Tambahkan 10 ml NaF 4% warna merah akan timbul kembali bila tanah tersebut mengandung Al.
·         Titer dengan HCL 0,1 N sampai warna merah hilang kembali ( catat jumlah HCL yang terpakai)
Perhitungan:
Me H-dd/100 gram = ( mL NaOH x N NaOH) – ( mL HCL x N HCL )x 40
Me Al-dd/100 gram = mL HCL xN HCL x40
Konstanta 40 berasal dari = ( 100 mL/25 mL )x (100 gram / 10 gram

3. ANALISIS C-Organik
Karbon sebagai senyawa organic akan mereduksi Cr6+ menjadi Cr 3+ dalam suasana asam, intensitas warna yang terbentuk setara dengan kadar Carbon dan dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm.
a.      Pembuatan Reagen
·         larutan 1 N K2Cr2O7 ( 49,04 gram K2Cr2O7 dilarutkan dengan 1 L aquades )
·         Asam sulfat pekat (96%)
·         Larutan 0,5% BaCl2 ( 5 gram BaCl dilarutkan dengan 1 L aquades )
b. Alat-alat
·         Erlenmeyer 250 ml
·         Mesin kocok
·         Timbangan analitik
·         Pipet ukur
·         Pipet tetes
·         Alat untuk menggerus
c. Bahan-bahan
·         K2Cr2O7
·         BaCl2
·         Asam Sulfat Pekat
d. Prosedur kerja
·         Gerus tanah/ sampel jika kasar kemudian timbang 0,2 g tanah
·         Masukkan tanah gambut kedalam Erlenmeyer
·         Tambahkan 10 ml larutan 1 N K2Cr2O7 , 20 ml Asam Sulfat Pekat dan 50 ml 0,5 ml 0,5% BaCl2
·         Setelah itu kocok hingga terlarut
·         Berikan label yang bertuliskan Sampel dan Blangko
·         Diamkan 1 malam hingga jernih
·         Lakukan juga untuk larutan standar pada Blanko seperti pekerjaan pada sampel
·         Setelah didiamkan selama 1 malam pindahkan larutan kedalam kuvet
·         Kemudian ukur absorbansi pada panjang gelombang 645 nm
·         Catat absorbansi sampel
Perhitungan :
% C = ( mg C kurva / mg contoh ) x 100%
Persentase bahan organik = 1,72 x C-organik

4. Penetapan Kadar Air
a. Alat-alat
·         Gelas breaker
·         Oven
·         Pinset
·         Timbangan analitik
b. Bahan-bahan
·         Sampel tanah


c. Prosedur Kerja
·         Keringkan selama 30 menit cawan pengering kedalam oven pada suhu 100°C
·         Setelah 30 menit, masukkan kedalam desikator selama 45 menit dan timbang
·         Timbang 5 gram tanah didalam gelas breaker
·         Masukkan kedalam oven pada suhu 105 °C selam 3 menit, pindahkan kedalam desikator.
·         Setelah 45 menit lalu ditimbang.
Perhitungan:
% Kadar air tanah  = ( berat tanah basah – berat tanah kering )/ berat kering tanah x 100%
5. Analisis N-Total
Senyawa nitrogen organik dapat dioksidasi dalam lingkungan asam sulfat pekat membentuk (NH4)2SO4. Amonium sulfat yang terbentuk disuling dengan penambahan NaOH. Selanjutnya NH3 yang dibebaskan diikat oleh asam borak dan dapat dititer dengan H2SO4 dengan menggunakan indikator Conway.
a.      Pembuat Reagen
·         Asam sulfat pekat
·         Katalis campuran (dicampurkan 1,55 gram CuSO4 anhidrat,96,9 gram Na2SO4 anhidrat, dan 1,55 gram selen bubuk kemudian digerus)
·         Asam borat 1% ( larutkan 10 g H3BO3 dengan 1 liter Aquades)
·         NaOH 40% ( 400 g NaOH dilarutkan dengan 1 liter aquades)
·         Indikator campuran (dilarutkan 0,1 gram merah metil ( methylred) dan 0,150 gram hijau bromkresol (bromecrosol green) kedalam 100 mL ethanol absolute)
·         Larutan baku asam sulfat 0.05 N
b.      Prosedur Kerja
·         Ditimbang 0,5 gram sampel tanah yang telah digerus, dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 ml
·         Tambahkan 0,5 gram katalis campuran dan tambahkan 3 mL asam sulfat pekat.
·         Direduksi selama ± 1 jam pada suhu 200 °C,setelah sempuran  (keluar asap putih) setelah itu angkat dan dinginkan dalam ruang (Fume Hod)
·         Lalu diencerkan dengan 25 ml aquades ditambah 20 ml NaOH 40% dijadikan 100 ml larutan dengan penambahan aquades
·         Hasil dektruksi pindahkan kedalam labu didih lalu di destilasi
·         Untuk menampung destilat disiapkan erlemeyer 100 mL yang berisi 10 mL H3BO3 1% dan ditambah 7 tetes indicator campuran.
·         Destilasi dilakukan sampai warna penampung menjadi hijau dan diperoleh destilat sekitar  50-75 mL.
·         Destilat dititer dengan H2SO4 0,05 sampai berubah warna
Dimana :T1 = mL H2SO4 yang terpakai untuk titrasi blanko
                        T2 = mL H2SO4 yang terpakai untuk titrasi sampel
N  = Normalitas H2SO4

6. ANALISIS FOSFOR TERSEDIA
Fosfor dalam suasana netral / alkalin dalam tanah akan terikat sebagai Ca,Mg-PO4. pengekstrak NaHCO3 akan mengendapkan Ca,Mg-CO3 sehingga PO4 3- dibebaskan kedalam larutan. Pengekstrak ini juga dapat digunakan untuk tanah asam terikat sebagai Fe. Al-hidroksida, sebagai fosfat dibebaskan.
a. Pembuatan reagen
·         Pengekstrak NaHCO3 0,5 N, pH (Olsen) dilarutkan 42,0 g NaHCO3 dengan aquades encerkan menjadi 1 L, pH larutan ditetapkan menjadi 8,5 dengan penambahan NaOH.
·         Pereaksi pekat: Dilarutkan 12 gram ammonium molybdate, (NH4)6Mo7O24. 4H2O dengan 100 mL aquades, ditambahkan 0.227 gram K(SbO)C4H4O6. dan secara perlahan tambahkan 140 mL H2SO4 pekat, jadikan 1 L.
·         Pereaksi warna P: campuran 1,06 gram asam absorbat dan 100 mL pereaksi P pekat kemudian jadikan 1L (tambahkan 25 mL H2SO4 N sebelum diencerkan)
·         Larutan induk P 500 ppm : Dilarutkan 2,1954 gram KH2PO4 (keringkan pada suhu 40 °C) dengan aquades, encerkan menjadi 1L
·         Larutan standar (0,5; 1,0; 2,0; 4,0; 8,0)
b. Prosedur kerja
·         Ditimbang 1,0 gram sampel tanah masukkan kedalam Erlenmeyer, ditambah 20 mL pengekstrak olsen kemudian dikocok selama 30 menit.
·         Disaring dengan kertas whatman 42 dan bila larutan keruh kembali.
·         Ekstrak dipipet 10 mL kedalam labu ukur 50 ml
·         Sampel dengan aquades 10 ml kedalam labu ukur 50 ml
·         Ditambah 10 ml pereaksi pewarna  P untuk masing-masing sampel
·         Kocok hingga homogen dan biarkan selama 10 menit
·         Pipet sampel tanah 1 ml kedalam 50 ml labu ukur, tambah aquades hingga 50 ml
·         Kemudian masukkan sampel tanah dan sampel control kedalam kuvet masing-masing
·         Absobsi larutan diukur dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm
·         Catat hasil absorbansinya
Perhitungan : konsentrasi fosfor dihitung dengan menggunakan regresi liner dari larutan standar.
Kadar P tersedia (ppm) = ( konsentrasi terukur x mL ekstrak )/ g contoh.

D.    Pengamatan
Tanah gambut dari daerah pekanbaru
1.    pH                                                  = 5,25
2.    Berat sampel Al dd dan H dd        = 10,0520 gram
NaOH 0,1 N                              = 2,5 ml
HCl 0,1 N                                  = 0,5 ml
3.    Berat sampel C-organik                  = 0,2078 gram
Blanko                                       = 0,119 Abs
Sampel                                       = 0,297 Abs
4.    Berat sampel Fosfor                       = 1,499 gram
Blanko                                            = 0,125 gram
Sampel                                            = 0,118 x 50 = 5,9 Abs
5.    Berat sampel N                               = 0,5135 gram
H2SO4                                             = 1,5 ml
6.    Berat breaker                                  = 34,8795 gram
Berat tanah basah                           = 5,05  gram
Berat kering                                    = 37,5122 gram
IV.            

 
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Analisis pH Tanah
Hasil pengamatan dari pengukuran pH tanah pada tanah gambut yaitu 5,25
B.  Analisis Al dd dan H dd
Konstansta 40 berasal dari = (100 ml/ 25 ml) x (100 g / 10 g)
me H dd / 100 gram    = ( mL NaOH x N NaOH) – ( mlHCl x N HCL) x 40
                                     = ( 2,5 x 0,1 ) - (0,5 x 0,1 ) x 40
                                    = ( 0,25- 0,05 ) x 40
                                     = 0,0125 x 40 = 0,5  ml
me Al dd / 100 gram   = ml HCl x N HCl x 40
= 0,5 ml x 0,1 N x 40= 2
me H dd / 100 gram x me Al dd / 100 gram  = 0,5 x 2 = 1
Jadi, tanah gambut yang mempunyai pH tanah 5,25 dibutuhkan pengapuran sebanyak 1 ton/ha.
C.  Analisis C-Organik
Perhitungan :   % C-organik = (mg C kurva atau konstanta mg C/mg contoh) x 100%
Persentase bahan organik = 1,72 x C=organik
A = 0,0014
B = 0,008
Konstanta (mg C)       =  (Abs Y- A)/B
= (0,297 – 0,0014)/0,008 = 36,95
% C-organik = (36,95/207) x 100% = 17.85
% bahan organik = 1,72 x 17.85 = 30.70
D.  Penetapan Kadar Air
Berat kering = (berat breaker + berat tanah)- berat kering       
= (34,8795 + 5,05) – 37,5122  
= 39,9295 – 37,5122 = 2,4173 gram
% kadar air      = (berat basah tanah – berat kering) x 100 / berat kering
                        =   5,05 - 2,4173 x 100 / 2,4173
                        = 108,91 %

E.  Analisis N- Total
Perhitungan :   % N = 
Dimana :          T1 = ml H2SO4 0,05 N yang terpakai untuk titrasi blanko
T2                    = ml H2SO4 0,05 N yang terpakai untuk titrasi sampel
N                     = Normalitas H2SO4
Fk protein        = 6,25
% N                 =  = 0,69 %
% protein         = % N x fk protein
                            = 0,69 x 6,25 = 4,27
Jadi, kandungan N pada tanah gambut adalah 4,27 %

F.   Analisis Fosfor Tersedia
A                     = 0,002
B                     = 0,013
X ppm             = Abs Y – A / B
X ppm             = 5,90,002/ 0,013 = 453,69
Mg/kg fosfor   = X ppm x ekstrak ml / berat tanah
= 453,69 x 20 / 1,0018 = 8995,56
% fosfor = Mg/kg fosfor / 10.000
                           = 8995,56 / 10.000   = 0,8995 %
V.               

 
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Kesimpulan yang saya dapat dari praktikum dasar-dasar ilmu tanah ini adalah:
1.      pH tanah gambut kelompok 2 yang diambil tanahnya di daerah sungai tratak buluh adalah 5,25
2.      Analisis Al dd dan H dd nya ialah 1
3.      Analisis % C-Organiknya ialah 17,85 % dan bahan organiknya 30,70 %
4.      Kandungan air gambut ialah 108,91 %
5.      Kandungan N pada tanah gambut ialah 0,69 %
6.      Kandungan fosfor pada tanah gambut ialah 8.995,56 dengan % fosfornya ialah 0,8995 %
B. Saran
            Kepada kakak asisten dalam pelaksanaan praktikum seharusnya dalam penjelasan haru secara jelas dan detail agar mahasiswa yang mengikuti praktikum mata kuliah ini dapat mengerti dan dapat mengetahui cara praktikum yang tepat dan benar.
            Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah DDIT seharusnya yang melakukan praktikum itu yang mengikuti praktikum dan kakak asisten seharusnya hanya membimbing para mahasiswa agar mahasiswa tau bagaimana cara melakukan praktikum praktikum tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2007. Menentukan keasaman pH meter dan tekanan kelembaban tanah tensiometer.http://olovans.wordpress.com/2011/06/08/menentukan-tingkat-derajat-keasamantanah-ph-meter-dan-tekanan-kelembaban-tanah-tensiometer/Diakses 2 Desember 2014.

Berry , L.G and B.mason. 1959. Mineralogy. Concepta, Discription, Ditermination. W. H. Freeman andco.san Francisco.

Buchman, Harry O. and Nyle C.Brady, 1969. Terjemahan Prof .Dr. Soegiman 1982. Ilmu Tanah . Penerbit Bhratara Karya Aksara – jakarta.

Grim , R. E, 1953.  Clay Mineralogy, Mcgraw Hill Book co Inc. N. Y.

Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Akademik Persindo ; Jakarta.

Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.

Endah, N. 2002. Tinjauan Teknis Tanah Gambut Dan Prospek PengembanganLahan Gambut Yang Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar ITSSurabaya.

Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p.

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang.
Khopkar, S.M. 2008.Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-     Press).

Notohadiprawiro. 1986. Pembentukan Tanah Mineral. Jakarta.

Muchsin, Yulianto. Fosfat. http://www.chem-is-try.com/ diakses 1 Desember 2014

Pasaribu.2007. http://www.scribd.com/doc/13977716/Alfisol-Dan-Oxisol. Diakses tanggal 06 Desember 2014.

Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Subandi. 2007. Aldd dan Hdd pada tanah. http://www.googlebook.com// Diakses tanggal 2 Desember 2014.

Syarief. 1986. Struktur dan Klasifikasi Tanah Mineral. Jakarta.

Wicaksono. 1952. Pengetahuan Ilmu Tanah. Jakarta.

Wiryawan, Adam. Spektrofotometer UV-VIS. http://www.chem-is-try.com/.diakses1 Desember 2014.

Winarso. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta.

Yulianti. 2007. Pertumbuhan Tanaman Pada Tanah Masam. Jakarta.


LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Pratikum Dasar – Dasar Ilmu Tanah kelas A
No
Hari, Tgl/Bln/Tahun
Kegiatan Praktikum
1
Rabu, 05 November 2014
-          Analisi pH tanah
-          Analisis Al-dd dan H-dd,
-          Analisis C-Organik
2
Sabtu, 08November 2014
-          Uji analisis kadar air tanah,
-          Analisis N total,
-          Analisis fosfor tersedia,

1 komentar:

ignaasmabb mengatakan...

Casino City to host a gaming - JMHub
이천 출장안마 app › casinos › app › casinos Mar 25, 강릉 출장샵 2017 — Mar 경상북도 출장안마 25, 2017 The gaming floor at the 춘천 출장샵 Harrah's Hotel in Las Vegas has been remodeled, and the lobby area 김포 출장샵 will be revamped.


By Animart